Pengangkatan ASN Yang Masif, Menjadikan Stres Fiskal Bagi Daerah

DOMPU, DOMPUPOST COM
Saat ini pemerintah daerah disibukan dengan penanganan, penyelesaian dan pengangkatan honorer menjadi ASN PPPK, hal itu sesuai dengan amanat UU Nomor 20 tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dimana pada pasal 60 mengatur bahwa seluruh pegawai non-ASN harus ditentukan statusnya paling lambat Desember 2024. Dengan pilihan utama dialihkahstatuskan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Pasal inilah menghadirkan persoalan baru dalam tata kelola kepegawaian di Indonesia. Dan boleh di bilang pasal ini akhirnya menjadi jerat dan mau tidak mau harus dilaksanakan oleh daerah. Yang memiliki fiskal yang tinggi ini tidak menjadi masalah, tapi bagaimana dengan daerah yang fiskalnya rendah dan hanya tergantung pada dana transfer pusat. Sementara rata-rata daerah di Indonesia memiliki fiskal rendah.
Kendati harus diakui tujuan pemerintah ingin memberikan kepastian hukum dan penghargaan untuk tenaga honorer yang telah lama mengabdi, namun memunculkan tantangan serius di daerah. Kabupaten Dompu misalnya yang merupakan salah satu daerah yang mengandalkan dana tranfer pusat juga ikut berdampak pada pasal ini.
Pemerintah daerah ibarat makan buah simalakama, artinya di aturan lainya khusus dari sisi fiskal dan kepatuhan terhadap batasan belanja pegawai yang memang telah diatur dalam regulasi. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). Dimana dalam aturan itu pemerintah daerah diwajibkan menjaga porsi belanja pegawai tidak melebihi 30 persen dari total APBD.
Nah, itu jugalah mungkin menjadikan para Bupati ini menaikan PPB, sehingga berdampak protes dari masyarakat. Setelah Pati misalnya disusul Kabupaten Cirebon yang fantastik kenaikan 1000 persen yang sudah di batalkan.
Sehingga alih-alih pemerintah daerah menurunkan porsi belanja pegawai tapi justru malah terjadi penambahan persentase yang signifikan. Dan ini terjadi khusus di daerah yang PAD yang minim seperti Dompu dan Kabupaten lainya di NTB dan Indonesia umumnya.
Dan ini menurut saya menciptakan kondisi dan dilema bagi daerah. Di satu sisi harus mematuhi perintah UU ASN untuk menyelesaikan status seluruh pegawai non-ASN, dan harus tunduk pada batasan maksimal alokasi perjenis belanja pada APBD. Nah, disinilah pemerintah daerah menurut saya harus putar otak dan dan menyusun berbagai skenario agar kedua aturan itu bisa dilaksanakan.
Karena itu jika ini tidak bisa diselesaikan atau menghentikan pengangkatan honorer baru, sejalan dengan moratorium pasal 65 UU ASN yang mengatur ancaman dan sanksi akan diberikan pada daerah atau pejabat jika melanggar.
Sehingga tidak mengherankan banyak daerah yang tidak bisa mengeksekusi pengangkatan pegawai sesuai kuota yang diberikan pusat.
Selain pemerintah daerah kelimpungan dengan menaikan PBB seperti yang terjadi di Pati, juga dikhawatirkan menurut saya, yakni terjadi potensi konflik antara pegawai ysng bersatus ASN PNS dan ASN PPPK, itu akan terlihat pada saat pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai(TPP).
Jadi, jangan pernah salahkah pemerintah daerah jika TPP masing-masing daerah itu berbeda-beda. Kabupaten Dompu misalnya yang fiskalnya rendah pasti tidak akan mampu membayar TPP yang tinggi.
Kehadiran PT STM sebagai perusahaan Tembaga dan Emas di Kecamatan Hu,u semoga akan menjadi solusi dan mampu menaikan fiskal bagi daerah Bumi Nggahi Rawi Pahu. Selain itu juga dengan kehadiran PT STM juga diharapkan akan mampu mengalihkan keinginan para tanaga potensial asal Kabupaten Dompu untuk tidak menjadikan pegawai ASN sebagai alternatif tempat berkerja yang utama. Karena kalau hanya mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat jangan harap pembangunan di daerah kita akan bisa maju. ( Dompupost. com/*).